Berita Seputar Wilayah Rembang

20.4.17

SELUK BELUK LAHIRNYA WARKOP DI REMBANG.

Ikhsan Hariyanto pemilik usaha kopi cap cangkir di Rembang. Foto Edy Sutrisno Koran Muria.


Berkunjung ke Rembang, jangan kaget jika sering menjumpai warung kopi lelet, baik itu yang ada di tepi jalan pantura maupun di pelosok desa. Wajar saja, di kabupaten pinggiran yang menjadi tapel batas Jawa Tengah dan Jawa Timur itu, ada sekitar 900 an warung kopi.

Banyaknya warung kopi di Rembang tersebut ternyata tidak tumbuh dengan sendirinya. Warung yang kini jadi tumpuan warga Rembang mencari nafkah itu berkaitan erat dengan sejarah kelam perekonomian.

Di tahun 1997-1998, bangsa Indonesia mengalami krisis moneter. Banyak perusahaan yang gulung tikar. Pergolakan ekonomi, dan rendahnya mata uang ruipiah terhadap mata uang asing semakin menambah bobrok perekonomian di dalam negeri.

Puluhan hingga ratusan warga Rembang yang mencoba mengais rezeki dengan menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan terkemuka di Ibu Kota akhirnya kena dampaknya. Mereka di PHK. Akibatnya banyak pengangguran.

Hal itu membuat Ikhsan Haryono pemilik Kopi Cangkir berusaha memutar otak. Ia khawatir banyaknya pengangguran akan meningkatkan kriminalitas di masyarakat. Sementara jika ia membuka lowongan pekerjaan, ia sadar betul tak bisa menerima banyak karyawan.

”Akhirnya saya mencoba memberi pemahaman kerabat dekat untuk membuka usaha saja. Karena saya bergerak di bidang kopi, akhirnya tercetuslah warung kopi,” kata warga Desa Sumberejo RT 4/RW 3, Kecamatan Rembang.

Mulanya, usaha warung kopi juga jatuh bangun. Namun, berkat konsistensi dan keuletan para pemilik warung, mereka berhasil membuktikan diri. ”Setelah itu, kesuksesan warung kopi langsung jadi buah bibir masyarakat dan menjamur hingga pelosok desa,” ujar pria menekuni usaha Kopi Cangkir sejak tahun 1982 itu.

Hanya saja, lamban laun, usaha kopi yang ada di masyarakat berkembang ke arah yang agak negatif. Demi meraup simpati dari masyarakat dan meramaikan warung, banyak pemilik warung yang melengkapi warung dengan pramusaji perempuan. Alhasil, cita rasa dan khasanah kopi lokal yang diprioritaskan menjadi luntur perlahan.

Dia melanjutkan, adanya kopi ciwel (cubit) dan kopi pangku tersebut ternyata dari para pengusaha kopi luar kota yang mengadu nasib di Rembang. Hanya saja, mereka pandai memanfaatkan situasi atau keramaian usaha kopi untuk melariskan dagangannya dengan hal-hal yang cenderung negatif.(Handoko)